SELAMAT DATANG DI PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN, JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA

Kamis, 18 Maret 2010

PTK BK

PENGUBAHAN OFF-TASK BEHAVIOR KE ON-TASK BEHAVIOR SISWA MELALAUI PENERAPAN BIMBINGAN BERBASIS EKOLOGI
Oleh:
Sukiman
Abstrak
This classroom action research was held in the sixth of State Elementary School to solve the bad achievement of mathematics. There is a tendency that students’ act are included in Off-Task Behavior during mathematics lesson. The goals of this research are to reduce Off-Task Behavior to a new one by giving ecology guidance basis. By this, is assumed mathematics achievement can be risen through the collaboration activity between lecturer and teacher researchers in the learning mathematics lesson process. The last average result in odd semester is 44.46 has risen to 81.0 in even semester and become 73.8 in final examination.
Key words: Modification, Off-Task Behavior – On-Task Behavior, Ecology Guidance

Latar Belakang
Berdasarkan cara pembelajaran klasik (Pembukaan-Inti-Penutup), pada ulangan semester gasal pada lima bidang studi UANAS di SD 02 Barongan Kudus, diperoleh hasil dengan nilai tertinggi/terendah: 1) PPKn = 90/60. 2) Bahasa Indonesia = 93/59. 3) Matematika = 92/17. 4) IPA = 93/ 43. 5) IPS = 97/ 43.
Hasil ulangan semester gasal dari ke lima mata pelajaran di atas dari nilai rata-ratanya diketahui tingkat daya serap alih-alih mata pelajaran dari yang kurang dipahami sampai dengan yang dipahami secara tuntas oleh pebelajar secara urut adalah: 1) Matematika (44,46). 2) IPS
(69). 3) Bahasa Indonesia (75,06). 4) IPA (79,53) dan 5) PPKn (79,8).
Data disebut di atas menempatkan mata pelajaran matematika sebagai mata pelajaran yang paling rendah diserap oleh pebelajar. Di sisi lain data hasil angket diketahui bahwa sebe
narnya mata pelajaran matematika mendapat porsi perhatian yang lebih dari anak (55%). Dan 60% anak menyatakan senang pada mata pelajaran matematika, dan anak yang secara eksplisit menyatakan tidak senang pada mata pelajaran matematika sebanyak 25%, serta 85% orang tua terlibat dalam membantu belajar matematika di rumah. Secara kualitatif hasil belajar disebut di atas, kecuali mata pelajaran PPKn, didapati adanya anak yang mengalami kesulitan belajar sebagaimana ditunjukkan pada nilai-nilai terendah yang diperoleh pebelajar: 2) Bahasa Indonesia (59); Matematika (17); IPA (43);
dan IPS (43).
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas diyakini ada hal-hal yang mengh
ambat proses belajar-mengajar, khususnya pada matapelajaran Matematika, IPA dan IPS, dan/atau ada faktor-faktor yang belum diberdayakan guna menunjang proses belajar-mengajar pada umumnya. Mengingat tahun ajaran segera berakhir maka pada semester genap tersebut diperlukan tindakan nyata dan segera untuk menyelesaikan permalasahan ini adalah penting. Tindakan nyata dan segera dipilih bersifat rasional dan feasible, serta berdasarkan kriteria yang banyak sumber pendukung dan
sedikit faktor penghambatnya. Bertolak dari hasil wawancara dengan guru kelas diperoleh inform
asi bahwa ada kecenderungan anak bertingkah laku dalam kategori Off-Task Behavior selama terlibat dalam proses belajar-mengajar matematika yang dilaksanakan guru dengan menerapkan model pendekatan klasik. Suatu nuansa penyajian materi pelajaran yang lebih tertuju pada masalah teknik penyelesaian target kurikulum, sementara faktor non-teknik belum mendapat perhatian secara proporsional. Faktor non-teknik di maksud adalah iklim kelas dan lingkungan (ekologi) yang mendukung proses
belajar-mengajar. Padahal secara profesional, kemampuan seorang guru tidak sebatas
kemampuan menyampaikan bahan ajar sebagai informasi satu arah kepada siwa, melainkan kemampuan untuk memacu agar pebelajar. Faktor-faktor inilah yang diprediksi sebagai akar permasalahan hasil belajar tidak maksimal. Dengan kata lain faktor ekologis yang membantu kelancaran proses belajar-mengajar perlu diciptakan sehingga aktualisasi tingkah laku Off-Task Behavior dapat diubah menjadi On-Task Behavior. Dan untuk itu disain dan strategi pembelajaran yang sampai sekarang diterapkan perlu diperbaharui guna mengembangkan tingkah laku baru (On-Task Behavior) dalam proses belajar-mengaj
ar matematika.
Paparan di atas menyiratkan adanya permasalahan dalam pembela
jaran matematika dan upaya pemecahan masalah, yang dalam PTK ini dapat dirumuskan bahwa:”Tingkah laku kategori Off-Task Behavior dapat diubah menjadi On-Task Behavior melalui penerapan bimbingan berbasis ekologi.” Secara lebih rinci masalah dan upaya pemecahannya dalam PTK ini dapat ditelaah melalui pertanyaan penelitian berikut ini.
a. Dapatkah perilaku Off-Task Behavior direduksi melalui bimbingan ekologis dalam proses pembelajaran?
b. Apakah perilaku On-Task Behavior dalam proses pembelajaran dapat diaktualisasikan keberadaannya melalui bimbingan berbasis ekologis?
c. Apakah perilaku Apakah perilaku On-Task Behavior memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan prestasi pebelajar dalam belajar?
Ada suatu pemahaman yang telah terterima umum bahwa kesuksesan belajar pebelajar ditentukan oleh banyak faktor baik dari dalam diri pebelajar maupun dari luar diri pebelajar. Faktor dari dalam diri pebelajar di antaranya terkait dengan tingkah laku. Ada beberapa masalah tingkah laku pebelajar dalam proses belajar di kelas. Tingkah laku pebelajar dalam situasi belajar di kelas ada yang tidak dikehendaki kemunculannya, yaitu tingkah laku yang disebut Off-Task Behavior (O-TB). Beberapa variabel label diberikan oleh para pakar untuk menggambarkan O-TB pebelajar di kelas, di antaranya tingkah laku impulsive (impulsiveness), tidak memperhatikan (inattention), tidak menyelesaikan tugas (noncompletation of task), meninggalkan tempat duduk (out of seat), berbicara tanpa permisi (talking without permission), tidak mempunyai motivasi belajar (unmotivated to learn), tidak siap mengikuti kegiatan di kelas (unprepared for class) (Sparzo & Poteet, 1989); dan mengganggu (disruptive). O-TB oleh Axelrood (1983) dalam Naharia (2001) disimpulkan sebagai masalah yang dihadapi guru setiap hari dari waktu ke waktu hingga sekarang adalah sama, dan oleh karena itu tugas guru untuk mengajarkan keterampilan sosial dan mereduksi tingkah laku disruptif tersebut. Tugas guru ini karenanya menjadi penting, sebab jika O-TB secara ajeg dan terus menerus dilakukan pebelajar pada proses belajar-mengajar dapat berimplikasi pada kegagalan akademik (Sparzo & Poteet, 1989), seperti rendahnya prestasi pebelajar terhadap pelajaran, tinggal kelas dan bahkan tidak lulus dalam ujian akhir. Dengan kata lain tugas guru dalam hal ini adalah mengubah tingkah laku pebelajar dari Off-Task Behavior menjadi On-Task Behavior.
Menurut pandangan Behaviorist Off-Task Behavior merupakan hasil belajar dari lingkungannya, dan oleh karena itu pengubahannya menjadi On-Task Behavior diyakini dapat diupayakan melalui belajar dari lingkungan juga. Dalam hal ini melalui penstrukturan lingkungan belajar oleh guru, karena menurut Sparzo & Pottet (1989) ditegaskan bahwa: ”Classroom learning may be defined as a change in student behavior resulting from condition arranged by a teacher.”
Berdasarkan paparan di atas guru dalam proses belajar-mengajar di samping harus memperhatikan isi, adalah penting juga memperhatikan lingkungan belajar. Dengan kata lain guru harus mengorkrestasi kesuksesan belajar pebelajar melalui isi dan konteks. Berdasarkan pengamatan empiris pengorkrestasian isi sudah merupakan kebiasaan guru dalam kesehariannya, namun untuk pengorkrestasian konteks, dalam hal ini tindakan merekayasa lingkungan nampak belum merupakan kecenderungan untuk biasa dilakukan. Karena rekayasa lingkungan belajar berkontribusi bagi keberhasilan/kegagalan proses belajar-mengajar maka tidak boleh tidak, hal itu harus dilakukan sekarang.
Metode Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini diterapkan pada pebelajar Kelas VI SD 02 Barongan UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Kota Kabupaten Kudus dalam mempelajari mata pelajaran Matematika, dengan disain penelitian sebagai berikut:



Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran, sebagai berikut ini.
Siklus I:
Pelaksanaan PTK berlangsung sesuai dengan alokasi waktu mata pelajaran Matematika = 8 jam pelajaran/minggu @ 40 menit. PTK ini dilakukan pada semester genap. Siklus I berlangsung pada bulan Pebruari, Maret dan awal April. Secara riil pelajaran matematika pada siklus I dilaksanakan sebanyak 33 kali pertemuan. Kegiatan PTK dirancang ke arah penyelesaian akar permasalahan yang dihadapi guru peneliti yaitu bentuk Off-Task Behavior pebelajar dalam proses belajar-mengajar yang mengakibatkan prestasi belajar matematika rendah. Penyelesaian masalah ditempuh melalui pengubahan Off-Task Behavior menjadi On-Task Behavior melalui penerapan bimbingan berbasis ekologi. Terwujudnya On-Task Behavior pebelajar dalam proses belajar-mengajar diyakini akan meningkatkan prestasi belajar mereka.
Dasar pijakan bagi keberlangsungan proses pengubahan Off-Task Behavior menjadi On-Task Behavior direncanakan oleh dosen peneliti melalui tindakan nyata, berupa:
(a) Pengumpulan informasi dari guru peneliti tentang kecenderungan perilaku pebelajar selama dalam proses belajar-mengajar mata pelajaran matematika.
Pengumpulan informasi tentang kecenderungan perilaku pebelajar merupakan langkah awal dan penting sebelum proses KBM dilangsungkan. Pemahaman tentang kecenderungan perilaku pebelajar memberikan pertanda awal kepada guru peneliti tentang suatu kekuatan dan kelemahan dari anak, merupakan kondisi yang dapat dikembangkan dan/atau disikapi dengan strategi-strategi pendekatan tertentu. Dengan demikian guru peneliti memiliki waktu untuk mempersiapkan diri dan segala sesuatunya yang diperlukan dalam KBM.
(b) Penyampaian informasi tentang konsep bimbingan berbasis ekologi dan peluangnya untuk mengatasi masalah pembelajaran matematika yang dihadapi guru peneliti.
Pada sekitar tahun 1974 matematika modern mulai diajarkan di SD sebagai pengganti berhitung. Matematika modern lebih menekankan pada pemahaman struktur dasar sistem bilangan daripada mempelajari keterampilan dan fakta-fakta hafalan. Pelajaran matematika modern lebih menekankan pada mengapa dan bagaimana matematika melalui penemuan dan eksplorasi. guru penelitian semacam itu dinilai oleh Abdurrahman (1999: 254) sebagai telah mengabaikan beberapa aspek dari psikologi belajar dan kurang menguntungkan bagi anak berkesulitan belajar. Beberapa pendapat tentang hakikat matematika disimpulkan oleh Runes (1967) dalam Abdurrahman (1999: 252) bahwa definisi tradisional yang menyatakan bahwa matematika sebagai ilmu tentang kuantitas (the science of quantity) atau ilmu tentang ukuran deskrit dan berlanjut (the science of discrate and continuous) telah ditinggalkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara kontemporer pandangan tentang hakikat matematika lebih ditekankan pada metodenya daripada pokok persoalannya itu sendiri.
Bertolak dari paparan di atas yang menekankan pentingnya metode pembelajaran daripada hakikat yang dipelajari (matematika) membuka peluang dan dukungan bagi aktivitas bimbingan berbasis ekologi untuk diterapkan dalam proses KBM matematika.
(c) Penyampaian informasi tentang pengembangan ragam tindakan bimbingan ekologi dalam proses kegiatan belajar-mengajar.
Aktivitas bimbingan berbasis ekologi memiliki kakhususan bentuk kegiatan yang berimplikasi pada kegiatan riilnya. Suatu panduan bagi pelaksanaan tiga bentuk kegiatan dalam bimbingan berbasis ekologi sangat diperlukan. Dengan panduan tersebut guru peneliti dapat mengontrol dan mengembangkan perilaku tertentu sebagaimana di maksud oleh bimbingan.
(d) Penyusunan Pedoman Pengamatan untuk digunakan oleh observer (guru peneliti) guna mendapatkan data tentang pelaksanaan bimbingan ekologi dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh guru peneliti lainnya, meliputi pelaksanaan struktur peluang, pelaksanaan struktur dukungan, dan pelaksanaan struktur penghargaan.
Terlaksananya kegiatan bimbingan berbasis ekologi dalam proses KBM sesuai dengan konsepnya dimaksudkan, pedoman pengamatan dapat dipergunakan untuk mengetahui pelaksanaannya dalam praktek serta kontribusinya pada hasil pembelajaran.
(e) Penyusunan pedoman pengamatan bagi guru peneliti guna mendapatkan data tentang kondisi Off-Task Behavior ke On-Task Behavior pebelajar dalam proses belajar-mengajar.
Perubahan tingkah laku dari kategori Off-Task Behavior ke On-Task Behavior merupakan suatu keadaan yang diharapkan. Oleh karena itu data tentang perubahan yang terjadi perlu dikumpulkan guna mengetahui tingkat perubahan yang terjadi.
(f) Penyampaian informasi tentang pentingnya catatan lapangan (field note) bagi kelengkapan data lapangan.
Catatan lapangan penting untuk dilakukan, dengan catatan itu guru peneliti dapat mendokumentasikan kejadian-kejadian penting terkait dengan persoalan yang diteliti. Dokumentasi selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan masukan guna tindak refleksi atas pelaksanaan kegiatan (kekurangan) yang semula dirasa tepat dapat mengatasi persoalan dalam pembelajaran.
(g) Menata lingkungan fisik kelas dengan penggantian warna dinding, dari putih (rusak) diubah menjadi hijau apel, pemberian bingkai (pigura) pada gambar dan/atau hal-hal lain yang dipasang di dinding kelas. Semuanya itu dimaksudkan dapat menyokong bagi terwujudnya iklim kelas yang kondusif.
Lingkungan kelas yang indah, dan iklim kelas yang kondusif dimaksudkan dapat mewujudkan lingkungan belajar yang menjauhkan anak dari kemungkinannya mengalami problema belajar (learning problems).
(h) Mendeseminasikan bentuk pelaksanaan bimbingan berbasis ekologi sebagai upaya untuk pengubahan Off-Task Behavior ke On-Task Behavior dalam proses belajar-mengajar dengan menunjukkan langkah-langkah penjabaran bimbingan berbasis ekologi dalam proses belajar-mengajar.
Pelaksanaan bimbingan berbasis ekologi dikembangkan untuk menciptakan lingkungan belajar dalam mata pelajaran matematika meliputi:
Pertama, Struktur peluang diwujudkan dalam bentuk perangkat tugas, atau masalah, atau situasi, yang memungkinkan pebelajar mempelajari berbagai kecakapan hidup baik inter maupun antar pribadi, kecakapan menguasai dan mengendalikan pola respon. Tugas, masalah atau situasi yang terkandung dalan struktur peluang pada hakikatnya adalah stimulus yang diperhadapkan kepada pebelajar dalam ragam tingkatan tertentu. Tindakan kongkrit yang dilakukan oleh guru ialah merancang dan memilih bahan, topik, atau tema pembelajaran, dan dengan memperhatikan segi kebutuhan dan ekspektasi pebelajar serta faktor ekologis atau kontekstual.
Kedua, Struktur dukungan merupakan perangkat sumber yang dapat diperoleh pebelajar di dalam mengembangkan perilaku baru untuk merespons ragam tingkat stimulus. Perangkat sumber ialah relasi jaringan kerja, sebagai nuansa afektif, dan keterlibatan pebelajar di dalam relasi itu. Lingkungan belajar seperti ini menjadi wahana pengembangan struktur kognitif pebelajar untuk melakukan pemahaman, estimasi dan prediksi, sehingga kebercabangan dan kompleksitas stimulus yang diperhadapkan kepadanya menjadi sesuatu yang dapat dicerna dan dikendalikan. Esensi struktur pendukung adalah transaksi dalam proses pembelajaran. Upaya nyata yang dilakukan guru ialah memelihara transaksi agar motivasi, optimisme, dan komitmen terhadap standar hasil yang harus dipacapai pebelajar tetap tumbuh dan terpelihara. Panduan pengembangan transaksi.
Ketiga, Struktur pengahargaan merupakan perangkat sumber dalam pengalaman belajar yang dapat memperkuat perkiraan bahwa upaya yang dilakukan itu sebagai sesuatu yang akan memberikan pemuasan kebutuhan. Esensi struktur ini terletak pada penilaian dan pemberian balikan yang dapat memperkuat struktur kognitif dan perilaku baru. Upaya nyata yang dapat dilakukan guru ialah memberikan balikan sepanjang proses pembelajaran berlangsung, melakukan mengidentifikasi dan diagnosis kesulitan, dan mengupayakan perbaikan serta penguatan perilaku baru.
Siklus II.
Siklus II PTK dilakukan pada kegiatan belajar-mengajar tengah semester berikutnya selama 13 kali pertemuan, dan diakhiri sampai dengan pebelajar mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS).
Kegiatan PTK pada siklus kedua mencakup tindak perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi sebagaimana dilakukan pada siklus I dengan tindak pembaharuan atas kelemahan yang terjadi pada siklus I. Peneliti membuat skenario tindakan perubahan atas kekurangan pada siklus I. Kekurangberhasilan struktur dukungan yang realisasinya terjadi pada aktivitas guru dalam melakukan transaksi dengan pebelajar selama proses belajar-mengajar berlangsung dibangun dalam bentuk tindakan instruktif dan larangan. Hal tersebut diupayakan perbaikannya melalui analisis terhadap transaksi yang dibuat pebelajar. Melalui analisis transaksi yang terjadi dalam diri pebelajar diharapkan guru dapat memberikan respons yang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing diri pebelajar (Ego state). Kelemahan yang terjadi pada aktivitas dan tanggung jawab individu dalam kelompok diubah menjadi penyelesaian tugas yang sebelumnya atas nama kelompok ditumpukan pada tugas yang sifatnya individual.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Siklus I:
1) Data hasil pengamatan dari realisasi Struktur Peluang dilakukan guru peneliti dengan memberikan topik pembelajaran, dan menentukan sumber belajar serta informasi-informasi terkait dengan tujuan pembelajaran, untuk dipelajari oleh masingyang kompleks sekalipun dapat diserap dan diingat dengan mudah jika siswa benar-benar terlibat (di dalam proses pembalajaran).
Keputusan guru peneliti dalam mendisain proses KBM pada Struktur Peluang kelayakannya setidaknya dapat dikaji dari dua sudut pandang: 1) Komunikasi Pembelajaran, dan 2) Teori perkembangan kognitif.
Pertama, Komunikasi Pembelajaran
Tilikan terhadap keputusan guru peneliti memberikan topik materi ajar dan sumber belajar kepada kelompok anak untuk mempelajari topik baru di rumah dan dilanjutkan di sekolah dapat dinyatakan sebagai bentuk komunikasi pembelajaran konvergen. Bertolak dari paparan tentang dinamika dari proses penyelesaian tugas, permasalahan yang diberikan oleh guru peneliti dipecahkan bersama-sama di lingkungan anggota kelompok belajar, sehingga melahirkan mutual understanding di antara pebelajar anggota kelompok belajar, dan diharapkan permasalahan dapat dipecahkan. Kegiatan pebelajar dalam penyelesaian tugas tersebut selaras dengan pernyataan Magnesen dalam DePotter, Reardon, dan Singer-Nourie (2000) yang mengatakan bahwa kita belajar 10% dari apa yang kita baca; 20% dari apa yang kita dengar; 30% dari yang kita lihat; 50% dari apa yang kita lihat dan dengar; 70% dari apa yang kita katakan; 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.
Pada paparan proses KBM di atas dinyatakan bahwa jika ternyata dalam kelompok pebelajar mengahadapi persoalan dalam memecahkan masalah, dan akhirnya pemecahan kesulitan belajar dikembalikan kepada guru peneliti maka komunikasi dalam pembelajaran ini menggunakan pendekatan interaktif. Dengan demikian model pembelajaran yang diterapkan guru peneliti pada awalnya menggunakan model komunikasi konvergen dan pada proses KBM menghadapi persoalan yang tidak terpecahkan oleh pebelajar, model interaktif dipergunakan.
Kedua, Teori perkembangan kognitif.
Tindakan dalam membangun Struktur Peluang sesuai dengan teori perkembangan kognisi dari Piaget yakni memposisikan pebelajar sebagai subjek yang aktif dan dipercaya memiliki kemampuan berfikir dalam skemata tertentu tentang bahan ajar yang dapat dijadikan dasar untuk menghadapi bahan ajar yang baru. Bahan ajar baru akan menjadikan anak mengalami ketakseimbangan (disekuilibrasi). Dalam kondisi tak seimbang anak dengan skemata tertentu akan berusaha mendapatkan keseimbangan baru dengan melakukan adaptasi melalui asimilasi dan akomodasi, yakni penyesuaian bahan ajar baru yang sesuai dengan skemata yang telah dimiliki maupun menerima bahan ajar baru sebagai sesuatu yang baru dalam skemata mereka sehingga terjadi suatu keadaan ekuilibrasi.
2) Berdasarkan hasil pengamatan Struktur Dukungan diwujudkan dalam bentuk transaksi yang dibangun guru peneliti dalam berkomunikasi dengan pebelajar pada bulan Februari sampai dengan April secara berturut-turut ditemukan persentase realisasi hasil bimbingan sebesar 47%, 53%, 52%.
Persentase tersebut di atas menunjukkan bahwa guru peneliti sampai pada tahapan penyesuaian terhadap perilaku baru dalam menjalin komunikasi dan relasi dengan pebelajar. Perilaku baru guru peneliti sebagaimana di maksud oleh bimbingan menjadikan pebelajar dapat terbebas dari rasa takut selama mengikuti KBM matematika. Dengan hilangnya atau setidaknya berkurangnya rasa takut dapat menjadikan pebelajar mampu memberdayakan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas yang dihadapinya. Transaksi yang dibangun guru peneliti berinteraksi dengan pebelajar merupakan bentuk perwujudan komunikasi dalam proses KBM. Interaksi menjadi ciri dari keberlangsungan pembelajaraan, dan bahkan dapat dijadikan alat untuk memprediksi perolehan hasil belajar (Abdulhak, 2001), dan oleh karena itu prinsip komunikasi merupakan prinsip pertama dalam guru penelitian maupun pembelajaran (Cole dan Chan, 1994: 13).
Perwujudan transaksi sebagai bentuk komunikasi dua arah menjadikan interaksi antara guru peneliti-pebelajar kuat, dan proses KBM terhindar dari praktek ”banking system”, yang menempatkan pebelajar pada posisi pasif dan tak berdaya. Pebelajar hanya mendeposit informasi yang disampaikan guru peneliti melalui mendengarkan, mencatat, menghafal, dan menyimpan informasi dalam pikirannya (Paulo Freire, 1972). Pembelajaran yang tidak memiliki interaksi yang kuat dan mendalam dengan menggunakan interaksi satu arah menjadikan pemahaman pebelajar dalam belajar sangat lemah, bahkan memiliki dampak terhadap kurangnya perhatian pebelajar dalam mengikuti kegiatan belajar (Abdulhak, 2001).
3) Sedangkan Struktur Penghargaan dilaksanakan dalam bentuk pemberian koreksi kesalahan anak dalam buku pekerjaan anak berupa pemberian nilai, komentar dan saran serta menunjukkan kesalahan secara umum maupun individual.
Koreksi yang diberikan guru di maksudkan untuk memberikan umpan balik dan sekaligus merupakan bentuk hadiah dan/atau hukuman kepada pebelajar. Sebagai bentuk hadiah, koreksi guru dapat membuat hati anak merasa senang atas hasil usahanya, dan juga dapat membangun keterdekatan pebelajar kepada guru. Keterdekatan pebelajar – guru dapat memberikan kontribusi pada terwujudnya iklim pembelajaran yang kondusif.
Berdasarkan penerapan bimbingan berbasis ekologi dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya untuk mereduksi Off-Task Behavior pebelajar dan sekaligus merupakan upaya menumbuhkan On-Task Behavior pebelajar dalam KBM matematika, hasilnya dapat dipaparkan pada tabel berikut ini.



Paparan di atas menunjukkan bahwa selama siklus I bimbingan berbasis ekologi mampu mereduksi Off-Task Behavior sebesar 57.8%, 64,5%, dan 71,2%.
Keberhasilan pelaksanaan bimbingan berbasis ekologi menekan Off-Task Behavior dengan persentase disebut di atas memberikan kontribusi terhadap prestasi belajar matematika sebagai berikut:



Berkurangnya tingkat Off-Task Behavior ke tingkat On-Task Behavior sebagai hasil dari penerapan bimbingan berbasis ekologi dalam KBM matematika dikaitkan dengan perubahan prestasi yang berhasil diraih diperoleh nilai rata-rata kelas dari 44,46 pada ulangan semester genap menjadi 81,0 pada ulangan tengah semester genap 2004/2005 merupakan suatu kenaikan prestasi belajar yang signifikan.
Siklus II:
Proses belajar-mengajar matematika berdasarkan bimbingan berbasis ekologi pada siklus II diketahui berhasil menekan tingkah laku pebelajar kategori Off-Task Behavior seperti dalam tabel berikut ini.



Berdasarkan Off-Task Behavior yang berhasil ditekan menjadi 37,7% dan prestasi belajar yang dicapai pebelajar pada UAS seperti disebut dalam grafik berikut ini.



Berdasarkan data pada grafik di atas diketahui bahwa dari 45 subjek yang mengikuti UAS, nilai matematika tertinggi adalah 99 (subjek nomor 16) dan nilai terendah adalah 43 (subjek nomor 42). Dengan demikian nilai rata-rata kelas mata pelajaran matematika pada siklus II sebagaimana tercermin pada hasil UAS matematika 2004-2005 adalah 73,8. Secara kualitas hanya didapati seorang anak (nomor urut 42) yang mendapatkan nilai 42,6 (passing grade) dalam UAS.
Berdasarkan rata-rata nilai UAS matetika di atas berikut ini disajikan perbandingan nilai rata-rata mata pelajaran matematika siswa kelas VI antara sebelum dan sesudah diterapkan bimbingan berbasis ekologi seperti dalam tabel di bawah ini



Berdasarkan hasil pengamatan pada siklus II dapat dinyatakan bahwa Penerapan bimbingan berbasis ekologi dalam proses belajar-mengajar dapat dilaksanakan sebagaimana berlangsung pada siklus I. Ditilik dari sisi hasil, siklus II menunjukkan peningkatan yang berarti jika tolok ukur yang dipergunakan adalah nilai rata-rata Semester Gasal. Namun jika dibandingkan dengan nilai rata-rata UTS Genap, hasil akhir siklus II mengalami penurunan.
Penurunan nilai rata-rata UAS dibandingkan dengan nilai rata-rata UTS Genap terjadi karena struktur dukungan dalam bimbingan berbasis ekologi ini masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang seharusnya. Analisis terhadap transaksi yang dibangun sebagai wujud tindak pembaharuan atas kekurangan pada siklus I masih sulit untuk dilakukan. Kesulitan nampak pada judgment guru dalam menentukan status ego pebelajar saat menampakkan Off-Task Behavior tertentu. Akibat selanjutnya spontanitas reaksi guru atas aksi pebelajar berupa tindakan yang kembali kepada sifat instruktif. Namun demikian dari sisi hasil, Siklus II masih dapat dinyatakan berhasil, karena soal UAS dan korektor dilakukan oleh suatu kepanitiaan di tingkat Kecamatan Dinas Pendidikan, tidak sebagaimana halnya pada Siklus I yang semuanya dilakukan sendiri oleh guru peneliti.
Kesimpulan dan Rekomendasi

1) Bimbingan berbasis ekologi dapat mereduksi off-task behavior dalam KBM Matematika.
2) Bimbingan berbasis ekologi dapat mengembangkan on-task behavior pebelajar dalam KBM matematika.
3) Bimbingan berbasis ekologi dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan prestasi belajar matematika.
4) Kesulitan pelaksanaan bimbingan ekologi dalam KBM terletak pada pelaksanaan aspek ke dua, yaitu struktur dukungan.
Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa PTK dengan penerapan bimbingan berbasis ekologi dalam KBM secara nyata dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan prestasi belajar pada mata pelajaran Matematika, sekalipun belum sepenuhnya dapat diterapkan. Dengan kata lain bahwa PTK ini dapat meningkatkan kualitas guru peneliti dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya, karena dengan PTK yang telah dilaksanakan, guru peneliti mendapatkan dampak positif ganda: Pertama, peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran secara nyata. Kedua, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Ketiga, peningkatan keprofesionalan dalam mendidik. Keempat, penerapan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis penelitian.
Hasil penelitian ini merekomendasikan:
1) Kegiatan PTK perlu diupayakan untuk ditindaklanjuti oleh guru peneliti, terutama untuk mata pelajaran selain matematika.
2) Kegiatan PTK ini perlu untuk dilakukan replikasi oleh guru peneliti yang lain pada kelas yang lain pula.
3) Agar pelaksanaan bimbingan berbasis ekologi dapat dilaksanakan secara utuh, khusus untuk struktur dukungan diperlukan pelatihan secara khusus dan terprogram.
Saran-saran di atas perlu dipertimbangkan realisasinya karena berkaitan dengan upaya menciptakan sebuah budaya belajar (learning culture) di kalangan guru-siswa di sekolah. Jika dalam budaya belajar telah tumbuh sikap proaktif di dlaam melakkukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable), maka dapat diwujudkan sikap profesional pendidik dalam melaksanakan tugsnya. Guru dapat terhindar dari teaching disability, dan bagi pebelajar dapat tercegah dari terjadinya learning disability.

Kepustakaan:

Abdulhak, I. (2001). Komunikasi Pembelajaran: Pendekatan Konvergensi Dalam Peningkatan Kualitas Dan Efektivitas Pembelajaran. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Teknologi Pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia 18 Oktober 2001.

Abdurrachman. (1997). Penciptaan Lingkungan Belajar yang Kondusif bagi Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik. Makalah Temukarya Fakultas/Jurusan Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia di Jakarta 3-5 Desember 1997. Jakarta: IKIP Jakarta.

Cole, PG, Lorna, KS. (1994). Teaching Principles and Practice. Second Edition. New York: Prentice Hall.

Cotton, J.(1995). The Theory of Learner. London: Kogan Page

DePotter, B., Reardon, M., Singer-Nourie, S. (2001). Quantum Teaching. Cetakan III. Penerjemah: Ary Nilandari. Bandung: KIFA.

Dryden, G. and Vos, J. (2001). Revolusi Cara Belajar. Penerjemah: Word ++ Translation Service. Bandung: Kaifa.

Freire, P.(1972). Paedagogy of the Oppressed. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.

Kartadinata, S. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling Dalam Pendidikan. Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung 18 Oktober 1996.

Naharia, M. (2001). Kefektifan Teknik Analisis Tingkahlaku Dalam Pengubahan Off-Task Behavior Siswa Sekolah Dasar Kristen Brawijaya Malang Propinsi Jawa Timur. rogram Studi Bimbingan Konseling PPS Universitas Negeri Malang. Thesis (tidak diterbitkan).

Sparzo, F.J. & Poteet, J..A. (1989) Classroom Behavior: Detecting and Correcting Special Problems. Boston: Allyn and Bacon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar